mempercayai takdir Allah swt merupakan
salah satu rukun iman. seorang mukmin harus mengetahui dan menyadari hakikat
takdir hingga ia mampu menjalani dan melaluinya dengan tenang. tidak panik
ketika bencana datang, pun tidak gelisah ketika musibah menghadang. juga tidak
bergembira secara berlebihan saat nikmat bergelimang.
mempercayai takdir berarti beriman kepada ilmu Allah yang kadim,
yang meliputi segala sesuatu, baik yang telah maupun yang akan terjadi. dialah
yang menuliskan segala hal di Lauhul Mahfuz. semua yang terjadi karena kehendak
dan keinginan-nya. Allah Mahakuasa melakukan apapun. Allah yang menciptakan
semuanya. Tiada Tuhan selain dia. Tiada pencipta aselain dia. Tiada yang maha
mengatur selain dia.
Beriman kepada Qadha dan Qhadar (Takdir) Allah adalah
perjalanan menuju keridaan kepadanya. Terlebih jika keridaan itu membuahkan
kedamaian dan ketenangan yng mengantarkan kepada kebahagiaan. Namu, beriman
kepada takdir tidak mungkin terwujud tanpa keridaan kepada ALLAH. Disini, kami
sampaikan bahwa timbal balik dari meridhai takdir adalah keridhaan Allah kepada
hambanya. Lantas, apa yang membuat Allah meridhai hambanya.??? Kita harus tahu
bahwa keridhaan Allah merupakan kebakan yang tinggi terhadap hambanya. Seperti yang
ditegaskan Al-Ghazali bahwa kebaikan tertinggi Allah adalah keridhaan terhadap
hambanya. Allah swt berfirman, (dan mereka mendapat) tempat yang baik disurga ‘Adn.
Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung (Q.S Al-Taubah
[9]: 72).
Melalui
ayat ini, Allah menegaskan bahwa dia akan mengangkat keridhaan nya ke-atas
surga ‘Adn. Dalam sebuah hadits juga dinyatakan bahwa Allah nantinya akan
berhadapan langsung dengan orang-orang mukmin. Kala itu, dia berkata, “mintalah
kepadaku.” Mereka menanggapai, “ kami memohon keridhaanmu.” Keridhaan yang
mereka minta setelah mereka melihatnya menunjukkan bahwa keridhaan merupakan
keutamaan tertinggi. Tidak ada lagi tingkatan yang paling tinggi setelah anugerah
kemampuan menatap Allah. Namun, mereka memohon keridhaannya. Alasannya,
keridhaan adalah faktor yang bisa membuat mereka dapat melihat Allah secara
terus-menerus. Mereka seoalah-olah melihatnya sebagai tujuan akhir dan
ketenangan paripurna.
Keutamaan
rida kepada Allah juga dikemukakan dalam sejumlah hadits. Diantaranya, hadits
yang dirawayatkan ‘Atha’ dari ibn ‘Abbas, yang menuturkan bahwa ketika datang
menemui para sahabat Anshar, Rasulullah saw. Bertanya “apakah kalian beriman?”
mereka tidak menjawab. Tidak lama kemudian Umar menjawab, “tentu Rasulullah”
beliau kemudian balik bertanya, “apa tanda keimanan kalian?” mereka menjawab, “bersyukur
saat memperoleh kesenangan. Bersabar ketika ditimpa bencana. Dan ridha terhadap
ketentuan Allah” beliau berkata, “demi Allah, tuhan pemilik ka’bah, kalian
benar-benar orang-orang beriman.
Mengimani
ketentuan Allah atas hambanya mengharuskan sebuah pembenaran yang pasti, tanpa
keragua sedikit pun serta kepercayaan kepada Allah dan ketawakkalan kepadanya,
sampai hal itu mendorong seseorang untuk
mengorbankan kesenagan hidup, bahkan harta dan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt. “sesungguhnya
orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasulnya, tidak rag-ragu, dan mereka berjihat dengan harta dan jiwanya dijalan
Allah. mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S Al-Hujurat [49]: 15)
Hanya
kepercayaan dan ketawakkalan kepada Allah yang mendorong seseorang secara kuat
untuk menginfakkan hartanya dijalan Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “berinfaklah,
niscaya Allah akan berinfak kepadamu.” Sampai dia memiliki keyakinan yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar