Pages

Sabtu, 15 November 2014

Rida Terhadap Takdir

mempercayai takdir Allah swt merupakan salah satu rukun iman. seorang mukmin harus mengetahui dan menyadari hakikat takdir hingga ia mampu menjalani dan melaluinya dengan tenang. tidak panik ketika bencana datang, pun tidak gelisah ketika musibah menghadang. juga tidak bergembira secara berlebihan saat nikmat bergelimang. 
        mempercayai takdir berarti beriman kepada ilmu Allah yang kadim, yang meliputi segala sesuatu, baik yang telah maupun yang akan terjadi. dialah yang menuliskan segala hal di Lauhul Mahfuz. semua yang terjadi karena kehendak dan keinginan-nya. Allah Mahakuasa melakukan apapun. Allah yang menciptakan semuanya. Tiada Tuhan selain dia. Tiada pencipta aselain dia. Tiada yang maha mengatur selain dia. 
        Beriman kepada Qadha dan Qhadar (Takdir) Allah adalah perjalanan menuju keridaan kepadanya. Terlebih jika keridaan itu membuahkan kedamaian dan ketenangan yng mengantarkan kepada kebahagiaan. Namu, beriman kepada takdir tidak mungkin terwujud tanpa keridaan kepada ALLAH. Disini, kami sampaikan bahwa timbal balik dari meridhai takdir adalah keridhaan Allah kepada hambanya. Lantas, apa yang membuat Allah meridhai hambanya.??? Kita harus tahu bahwa keridhaan Allah merupakan kebakan yang tinggi terhadap hambanya. Seperti yang ditegaskan Al-Ghazali bahwa kebaikan tertinggi Allah adalah keridhaan terhadap hambanya. Allah swt berfirman, (dan mereka mendapat) tempat yang baik disurga ‘Adn. Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung (Q.S Al-Taubah [9]: 72).
         Melalui ayat ini, Allah menegaskan bahwa dia akan mengangkat keridhaan nya ke-atas surga ‘Adn. Dalam sebuah hadits juga dinyatakan bahwa Allah nantinya akan berhadapan langsung dengan orang-orang mukmin. Kala itu, dia berkata, “mintalah kepadaku.” Mereka menanggapai, “ kami memohon keridhaanmu.” Keridhaan yang mereka minta setelah mereka melihatnya menunjukkan bahwa keridhaan merupakan keutamaan tertinggi. Tidak ada lagi tingkatan yang paling tinggi setelah anugerah kemampuan menatap Allah. Namun, mereka memohon keridhaannya. Alasannya, keridhaan adalah faktor yang bisa membuat mereka dapat melihat Allah secara terus-menerus. Mereka seoalah-olah melihatnya sebagai tujuan akhir dan ketenangan paripurna.  
         Keutamaan rida kepada Allah juga dikemukakan dalam sejumlah hadits. Diantaranya, hadits yang dirawayatkan ‘Atha’ dari ibn ‘Abbas, yang menuturkan bahwa ketika datang menemui para sahabat Anshar, Rasulullah saw. Bertanya “apakah kalian beriman?” mereka tidak menjawab. Tidak lama kemudian Umar menjawab, “tentu Rasulullah” beliau kemudian balik bertanya, “apa tanda keimanan kalian?” mereka menjawab, “bersyukur saat memperoleh kesenangan. Bersabar ketika ditimpa bencana. Dan ridha terhadap ketentuan Allah” beliau berkata, “demi Allah, tuhan pemilik ka’bah, kalian benar-benar orang-orang beriman.
         Mengimani ketentuan Allah atas hambanya mengharuskan sebuah pembenaran yang pasti, tanpa keragua sedikit pun serta kepercayaan kepada Allah dan ketawakkalan kepadanya, sampai hal itu mendorong  seseorang untuk mengorbankan kesenagan hidup, bahkan harta dan anak-anaknya. Hal ini  sejalan dengan firman Allah Swt. “sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, tidak rag-ragu, dan mereka berjihat dengan harta dan jiwanya dijalan Allah. mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.S Al-Hujurat [49]: 15)
         Hanya kepercayaan dan ketawakkalan kepada Allah yang mendorong seseorang secara kuat untuk menginfakkan hartanya dijalan Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “berinfaklah, niscaya Allah akan berinfak kepadamu.” Sampai dia memiliki keyakinan yang kuat.     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar